BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Model pembangunan dewasa ini baik yang terjadi di negara maju
maupun negara berkembang adalah globalisasi ekonomi. Ciri khas globalisasi
dalam pembangunan adalah kebebasan ekonomi,bukan lagi demokrasi ataupun usaha untuk
melindungi ekologi. Akibat dari kebebasan ekonomi, dunia sekarang mengalami
transformasi besar-besaran yang intinya adalah penyerangan hebat terhadap
seluruh segi kehidupan manusia.Dalam pasar global ini, segalanya harus dapat
dijual bahkan bagian-bagian dari kehidupan yang semula dianggap sakral seperti
kesehatan dan pendidikan, kebudayaan dan warisan, kode etik dan bibit tanaman,
serta sumber-sumber daya alam termasuk udara dan air. Globalisasi ekonomi pada
hakekatnya merupakan tangan panjang dari kapitalisme liberal yang bangkit
sekarang ini merupakan satu-satunya jalan keluar mengatasi kemacetan
pertumbuhan ekonomi setelah bangkrutnya Developmentalisme.
Ciri khas yang menonjol Globalisasi Ekonomi era ini tetap pada obsesi
terhadap pertumbuhan tanpa batas. Pertumbuhan ekonomi dan teknologi
dipandang sebagai suatu keharusan atau sesuatu yang esensial yang diterima para
politisi dan ahli ekonomi, meskipun dalam kenyataan bahwa perluasan tanpa batas
dalam lingkungan yang terbatas hanya akan menimbulkan malapetaka. Keyakinan atau
kepercayaan pada arti pentingnya pertumbuhan terus menerus merupakan konsekwensi
dari penekanan pada nilai perluasan, penonjolan diri dan kompetisi. Kepercayaan
seperti itu merupakan cerminan dari kepercayaan yang keliru bahwa jika sesuatu
itu baik bagi individu atau kelompok, maka semakin banyak sesuatu itu akan
semakin baik. Pendekatan yang kompetetif dan penonjolan diri terhadap bisnis
merupakan bagian dari warisan individualisme atomistic, John Locke.
Keyakinan yang menyatakan bahwa kebaikan umum menjadi maksimal jika
semua individu, kelompok, dan keluarga memaksimalkan kekayaan material mereka
secara sendiri-sendiri. Apa yang dianggap baik oleh suatu perusahaan besar
misalnya, maka baik pula bagi masyarakat. Konsekwensi dari reduksionis ini sekarang terlihat kebalikan,
ketika kekuatan-kekuatan ekonomi semakin banyak berbenturan satu sama lain,
merobek-merobek satuan sosial, dan menghancurkan lingkungan. Pertumbuhan
ekonomi terus menerus diterima suatu dogma, dianggap sebagai satu-satunya cara
untuk meyakinkan bahwa kekayaan materi akan menetes kebawah kepada simiskin.
Padahal model pertumbuhan trickle down (menetes ke bawah) telah terbukti
tidak realistik dan telah banyak dikritik.
Tingkat pertumbuhan tinggi tidak hanya kecil perannya dalam
meredakan persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang mendesak, tetapi juga
telah mengakibatkan kemorosatan kondisi sosial secara umum dan kualitas
lingkungan hidup. Akibat paling parah dari pertumbuhan yang terus menerus
adalah menipisnya berbagai sumber daya alam. Pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan
kemajuan teknologi. Individu maupun kelompok masyarakat dibuat terpesona oleh
teknologi modern tersebut dan yakin bahwa setiap masalah dapat diatasi dengan
teknologi, baik masalah yang menyangkut politik sosial,psikologis ataupun
ekologis.
Keyakinan ini hanya sebagai fatamorgana, tidak realistik.
Pertumbunan teknologi telah menciptakan suatu lingkungan dimana kehidupan
menjadi tidak sehat baik secara fisik maupun secara mental. Udara tercemar,
suara yang mengganggu, kemacetan lalu lintas, bahan pencemar kimia, bahaya
radiasi, dan banyak sumber stress fisik dan psikologis telah menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari. Teknologi telah menggangu proses-proses ekologis
yang menopang lingkungan alam kita dan merupakan dasar dari eksistensi kita.
Salah satu ancaman terbesar akhir-akhir ini adalah air, tanah dan udara oleh
sampah kimia. Sampah kimia yang berbahaya dewasa ini sebagai akibat pengaruh pertumbuhan
teknologi dan ekonomi yang merupakan virus dari kapitalisme liberal yang
disebarkan lewat produksi barang makanan yang membahayakan kesehatan. Misalnya,
bahan pengawet, sintetis sebagai pengganti makanan organik, bahan-bahan cita
rasa tiruan dan pewarna. Makanan tiruan ini diproses secara berlebihan untuk
mendapatkan keuntungan yang banyak diiklankan dengan gencar pada papan iklan
dan televisi. Sampah kimia disamping mempengaruhi industri makanan, juga
berpengaruh pula pada industri farmasi. Akibatnya pasar dibanjiri dengan ribuan
obat-obatan medis, yang banyak diantaranya hanya efektif secara marginal dan
efek samping yang mengganggu.
Persoalan
lain adalah ketergantungan ekonomi pada sumber daya dari energi yang berlebihan
ini tercermin dalam kenyataan bahwa ekonomi lebih bersifat padat modal dari
pada padat karya. Modal merupakan potensi kerja yang digali dari eksploitasi
sumber daya alam. Ketika sumber daya alam berkurang, modal itu sendiri menjadi
sumber daya yang langka. Meskipun demikian, maka muncul tedensi yang kuat untuk
menggantikan tenaga kerja dengan modal. Komunitas bisnis melakukan lobby yang
terus menerus untuk kredit dan pinjaman modal, yang banyak diantaranya untuk
mengurangi lapangan pekerjaan melalui otomatisasi dengan menggunakan teknologi
yang sangat kompleks. Pengaruh ekonomi Kapitalis membuat para pelaku bisnis
tampaknya tidak hanya mengekploitasi sumber daya alam, tetapi juga
mengeksploitasi masyarakat. Akibat pertumbuhan yang parah
adalah menipisnya berbagai sumber daya alam planet bumi ini.
Persoalan lain krisis lingkungan hidup disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk di negara dunia ketiga. Faktor pertumbuhan penduduk ini, bukan sesuatu
yang kebetulan, tetapi juga akibat pengaruh dari eksploitasi internasional yang
berpangkal dari sistem ekonomi kapitalis liberal yang lebih menonjolkan
teknologi yang dipacu untuk memenuhi obsesi pertumbuhan yang tidak terbatas. Teknologi
menjadi alat yang ampuh untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara
berlebihan, sehingga menyebabkan merosotnya kualitas lingkungan hidup. Menurut
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk
manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup adalah
keseluruhan perikehidupan diluar suatu organisme baik berupa benda mati maupun
benda hidup. Oleh karena itu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan sesamanya atau dengan makhluk mati di sekitarnya disebut
ekologi.
Ekologi merupakan ilmu murni yang mempertanyakan,menyelediki dan
memahami prinsip dasar bagaimana alam bekerja, bagaimana keberadaan makhluk
hidup dalam sistem kehidupan. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini yang
disebut dengan asas dasar ekologi. Masyarakat
sebenarnya menyadari bahwa lingkungan hakekatnya mencakup keseluruhan biospher
di luar organisme, namun masyarakat sebagai pengelola lingkungan cenderung
mempersempit wacana lingkungan, dalam arti lingkungan dimaksudkan sebagai lingkungan hidup
manusia, bukan ekologi dalam arti luas meliputi lingkungan hidup semua
organisme. Penyempitan wacana lingkungan ini melahirkan suatu kenyataan bahwa
pendekatan ekologi cenderung anthroposentrisme, artinya titik focus
kajian problem lingkungan selalu didasarkan pada nilai untung bagi kepentingan
manusia bukan pada nilai untung bagi lingkungan itu sendiri. Problem lingkungan
yang tidak menguntungan bagi manusia ditelantarkan dan dibiarkan. Akibatnya
lingkungan menjadi rusak dan tercemar.
Pendekatan anthroposentrisme merupakan implikasi dari
globalisasi ekonomi yang menjadi model pembangunan sekarang dengan dukungan
kemajuan teknologi yang melahirkan keyakinan bahwa lingkungan dan sumber daya
alam harus ditaklukkan dan dieksploitasi untuk mencapai kemajuan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan serta
kebahagiaan manusia. Dampak negatif globalisasi ekonomi yang anthroposentrisme
dengan mengandalkan kebebasan ekonomi dan kecanggihan teknologi adalah
berbagai kerusakan lingkungan hidup, yang tidak hanya berdampak pada manusia,
tetapi juga menjadi malapetaka bagi makhluk lain dan lingkungannya. Kerusakan lingkungan
hidup ini terjadi di dunia pada umumnya, termasuk Indonesia. Bentuk-bentuk kerusakan
lingkungan hidup adalah berupa pencemaran air, pencemaran tanah, krisis
keaneragaman hayati, kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, krisis
pertambangan dan lingkungan, pencemaran udara dan banjir lumpur.
B. Rumusan
masalah.
Dari latar belakang di atas
maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana pandangan etika terhadap kasus mengenai eksploitasi
lingkungan hidup yang berlebihan ?
2. Bagaimanakah kasus eksploitasi lingkungan hidup yang berlebihan
dilihat dari sudut pandang islam ?
3. Bagaimanakah kasus eksploitasi lingkungan hidup yang berlebihan
dilihat dari sudut pandang prinsip GCG dan ICG ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Bagaimana pandangan etika terhadap kasus mengenai
eksploitasi lingkungan hidup yang berlebihan.
2. Untuk mengetahui Bagaimanakah kasus eksploitasi lingkungan hidup
yang berlebihan dilihat dari sudut pandang islam
3. Untuk Mengetahui kasus eksploitasi lingkungan hidup yang
berlebihan dilihat dari sudut pandang prinsip GCG dan ICG ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup, sering disebut
sebagai lingkungan, adalah istilah yang dapat mencakup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam
yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi, yang berfungsi secara alami tanpa
campur tangan manusia yang berlebihan.Lawan dari lingkungan hidup adalah lingkungan buatan, yang mencakup wilayah dan komponen-komponennya
yang banyak dipengaruhi oleh manusia.
Menurut
Undang Undang No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem,
yaitu tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh
dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas lingkungan hidup.
Unsur-unsur
lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Unsur Hayati
(Biotik)
Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup
yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan
jasad renik. Jika kalian berada di kebun sekolah, maka lingkungan hayatinya didominasi oleh tumbuhan. Tetapi jika
berada di dalam kelas, maka lingkungan hayati yang dominan adalah teman-teman
atau sesama manusia.
2. Unsur Sosial
Budaya
Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan
budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan
dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai keteraturan berkat adanya sistem
nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh segenap anggota masyarakat.
3. Unsur Fisik (Abiotik)
Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari
benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar
peranannya bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di bumi. Bayangkan, apa
yang terjadi jika air tak ada lagi di muka bumi atau udara yang dipenuhi asap. Tentu saja kehidupan di muka bumi
tidak akan berlangsung secara wajar. Akan terjadi bencana kekeringan, banyak
hewan dan tumbuhan mati, perubahan musim yang tidak teratur, munculnya berbagai
penyakit, dan lain-lain.
B.
Pandangan Etika Terhadap Kasus Eksploitasi Lingkungan Hidup Yang
Berlebihan
1.
Kasus PT. Lapindo Brantas
Secara konsep
kebijakan pembangunan sudah memasukkan faktor kelestarian lingkungan sebagai
hal yang mutlak untuk dipertimbangkan namun dalam implementasinya terjadi
kekeliruan orientasi kebijakan yang tercermin melalui berbagai peraturan yang
terkait dengan sumber daya alam. Peraturan yang dibuat cenderung mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya alam tanpa perlindungan yang memadai, sehingga membuka
ruang yang sebesar- besarnya bagi pemilik modal.
Lemahnya
implementasi di bidang hukum yang mengatur pelaksanaan dan pengawasan pelestarian
terjadi juga di bidang lingkungan hidup. Sebagai contoh Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), dalam
implementasinya hanya merupakan kebijakan yang bersifat reaktif dan sesaat
(temporary) atau suatu kebijakan yang secara konsep bagus tetapi dalam
pelaksanaannya tidak terpantau secara berkesinambungan, lemah dalam manajemen
kontrol, cenderung tidak konsisten dan persisten. Hal yang serupa disampaikan
bahwa tingginya kerusakan sumber daya alam hayati di Indonesia disebabkan salah
satunya adalah banyaknya kebijakan sektoral dan bersifat eksploitatif yang
saling tumpang tindih dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dampak dari
eksploitasi alam secara besar-besaran sebagai akibat kekeliruan implementasi
kebijakan pembangunan tersebut mulai dirasakan rakyat Indonesia beberapa tahun
belakangan ini. Berbagai bencana terjadi silih berganti, mulai dari bencana
yang diakibatkan oleh dampak fenomena alam seperti Tsunami di Aceh, tanah
longsor dan banjir di berbagai daerah sampai pada bencana yang diakibatkan
adanya faktor kelalaian manusia dalam usaha mengeksploitasi alam tersebut
seperti kasus Teluk Buyat di Sulawesi, Freeport di Papua sampai dengan yang
sekarang menjadi bencana nasional yaitu kasus semburan lumpur panas Lapindo di
Sidoarjo Jawa Timur.
Kasus luapan
lumpur Lapindo adalah salah satu contoh kebijakan pembangunan yang dalam
implementasinya telah terjadi pergeseran orientasi, yaitu kebijakan pembangunan
yang cenderung mengabaikan faktor kelestarian lingkungan. Atau suatu kebijakan
yang tidak memasukkan faktor lingkungan sebagai hal yang mutlak untuk
dipertimbangkan mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap
pelaksanaannya. Salah satu contohnya adalah tidak ditepatinya kebijakan
lingkungan yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan sebelum suatu perusahaan
mendapatkan ijin untuk melakukan usahanya. Pertimbangan kebijakan lingkungan
tersebut antara lain : jarak rumah penduduk dengan lokasi eksplorasi, mentaati
standar operasional prosedur teknik eksplorasi, dan keberlanjutan lingkungan
untuk masa yang akan datang.
Secara garis
besar pelaksanaan, pengawasan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup
dijalankan perangkat hukum antara lain AMDAL yang merupakan suatu prosedur
preventif yang memberikan analisa menyeluruh dan terinci tentang segala dampak
langsung yang mungkin timbul dari proyek yang direncanakan, cara-cara yang
mungkin mengatasinya dan rencana kerja untuk mengelola, mengawasi dan
mengevaluasi dampak-dampak yang ditimbulkan dan efektifitas pelaksanaan rencana
kerja.
Lapindo Brantas
Inc. melakukan pengeboran gas melalui perusahaan kontraktor pengeboran PT.
Medici Citra Nusantara yang merupakan perusahaan afiliasi Bakrie Group. Kontrak
itu diperoleh Medici dengan tender dari Lapindo Brantas Inc. senilai US$ 24
juta. Namun dalam hal perijinannya telah terjadi kesimpang siuran prosedur
dimana ada beberapa tingkatan ijin yang dimiliki oleh lapindo. Hak konsesi
eksplorasi Lapindo diberikan oleh pemerintah pusat dalam hal ini adalah Badan
Pengelola Minyak dan Gas (BP MIGAS), sementara ijin konsensinya diberikan oleh
Pemerintah Propinsi Jawa Timur sedangkan ijin kegiatan aktifitas dikeluarkan
oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Sidoarjo yang memberikan keleluasaan
kepada Lapindo untuk melakukan aktivitasnya tanpa sadar bahwa Rencana Tata
Ruang (RUTR) Kabupaten Sidoarjo tidak sesuai dengan rencana eksplorasi dan
eksploitasi tersebut.
Dampak dari
luapan lumpur yang bersumber dari sumur di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong,
Kabupaten Sidoarjo, Propinsi Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 ini telah
mengakibatkan timbunan lumpur bercampur gas sebanyak 7 juta meter kubik atau
setara dengan jarak 7.000 kilometer, dan jumlah ini akan terus bertambah bila
penanganan terhadap semburan lumpur tidak secara serius ditangani. Lumpur gas
panas Lapindo selain mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan suhu rata-rata
mencapai 60 derajat celcius juga bisa mengakibatkan rusaknya lingkungan fisik
masyarakat yang tinggal disekitar semburan lumpur. Tulisan lingkungan fisik
diatas adalah untuk membedakan lingkungan hidup alami dan lingkungan hidup
buatannya, dimana dalam kasus ini Daud Silalahi menganggap hal ini sebagai awal
krisis lingkungan karena manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya.
Rusaknya lingkungan fisik tersebut sudah dirasakan berbagai pihak selama ini
antara lain
1. Lumpuhnya
sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sebagai mana diketahui Sidoarjo
merupakan penyangga Propinsi Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya dalam sektor
industri. Hingga kini sudah 25 sektor usaha tidak dapat beroperasi yang
berakibat hilangnya mata pencaharian ribuan karyawan yang bekerja pada sektor
industri tersebut.
2. Lumpuhnya
sektor ekonomi sebagai akibat rusaknya infrastruktur darat seperti rusaknya
jalan, jalan tol dan jalur ekonomi darat lainnya seperti jalur transportasi
kereta api dll.
3. Kerugian di
sektor lain seperti pertanian, perikanan darat dll. Sejauh ini sudah
diidentifikasi luas lahan pertanian berupa lahan sawah yang mengalami
kerusakan, menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian
Soetarto Alimoeso mengatakan area pertanian di Sidoarjo, Jawa Timur, yang
terkena luapan lumpur Lapindo seluas 417 hektare. Lumpur telah menggenangi
duabelas desa di tiga kecamatan, tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur,
menggenangi sarana dan prasarana publik, Sekitar 30 pabrik yang tergenang
terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja.
Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini, serta
memindah paksakan sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi.
4. Dampak sosial
kehidupan masyarakat disekitar seperti sarana tempat tinggal, pendidikan,
kesehatan, sarana air bersih dll. Bahwa efek langsung lumpur panas menyebabkan
infeksi saluran pernapasan dan iritasi kulit. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
lumpur tersebut juga mengandung bahan karsinogenik yang bila berlebihan
menumpuk dalam tubuh dapat menyebabkan kanker dan akumulasi yang berlebihan
pada anak-anak akan mengakibatkan berkurangnya kecerdasan.
5. Hasil uji
laboratorium juga menemukan adanya kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya yaitu
kandungan (B3) yang sudah melebihi ambang batas. Hasil uji kualitas air lumpur
Lapindo pada tanggal 5 Juni 2006 oleh Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Timur,
menunjukkan bahwa uji laboratorium dalam air tersebut terdapat kandungan fenol.
Kontak langsung dengan kulit dapat mengakibatkan kulit seperti terbakardan
gatal-gatal. Fenol bisa berakibat menjadi efek sistemik atau efek kronis jika
fenol masuk ke dalam tubuh melalui makanan. Efek sistemik fenol bisa
mengakibatkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (cardiac
aritmia), dan gangguan ginjal. Hal ini menunjukkan bahwa selain dampak
kerusakan lingkungan fisik, lumpur panas tersebut juga mengakibatkan ancaman
lain yaitu efek kesehatan yang sangat merugikan dimasa yang akan datang dan hal
ini justru tidak diketahui oleh masyarakat korban pada umumnya.
Dalam arti
gramatikal, kejahatan korporasi adalah merupakan pelanggaran atau tindak pidana
yang dilakukan oleh korporasi, yang tentunya berkaitan dengan hubungan
keperdataan, artinya hubungan yang menimbulkan tindak pidana tersebut adalah
perbuatan perdata. Melakukan pengeboran yang bertujuan sebagai kegiatan
penambangan gas di Blok Brantas oleh Lapindo Brantas Inc., menurut pengertian
kejahatan korporasi adalah merupakan perbuatan perdata, sedangkan hal yang
berlanjut mengenai adanya kesalahan manusia atau human error dan mengakibatkan
kerugian bagi orang lain adalah merupakan perbuatan tindak pidana.
Human error
yang dilakukan oleh Lapindo Brantas adalah tidak dipasangnya pipa selubung
dalam aktivitas pengeborannya sehingga mengakibatkan bencana itu terjadi.
Pemasangan chasing (pipa selubung) yang tidak dilakukan lebih awal oleh Lapindo
ini dapat dijadikan sebagai suatu kelalaian dari sebuah korporasi dengan tidak
dilaksanakannya standar keselamatan sebelum pelaksanan pengeboran. Kejahatan
korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup,
yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah
korporasi bernama Lapindo Brantas Incorporated. Dampak yang diakibatkan adanya
perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun
juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat Sidorajo. Hal seperti ini
dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan.
Dalam kasus
Lapindo ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal
dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum Pidana
(KUHP) dan hukum Perdata (KUHPer). Sampai dengan saat ini bahwa upaya dalam
penanggulangan dampak tersebut dirasakan berbagai pihak kurang optimal
dibandingkan dengan kerusakan yang terjadi. Hingga saat ini tindakan nyata dari
Lapindo Brantas (Lapindo) sebagai pemegang izin eksplorasi dan eksplotasi pada
Blok Brantas baru sebatas pemberian ganti rugi terhadap kerusakan fisik yang
diderita warga sekitar daerah bencana. Sementara upaya menghentikan semburan
lumpur dan upaya penanggulangan dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan
sebagai akibat lain dari bencana tersebut belum ditangani secara benar dan
sistematis. Peristiwa ini tentu saja mengundang masyarakat untuk berkomentar
terhadap pertanyaan dimana dan sampai sejauh mana letak pertanggung jawaban
Lapindo Brantas Inc.
Dari Uraian kasus diatas diketahui bahwa kelalaian yang dilakukan PT.
Lapindo Brantas merupakan penyabab utama meluapnya lumpur panas di Sidoarjo,
akan tetapi pihak Lapindo malah berdalih dan enggan untuk bertanggung jawab. Jika dilihat dari sisi etika bisnis,
apa yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas jelas telah melanggar etika dalam
berbisnis. Dimana PT. Lapindo Brantas telah melakukan eksploitasi yang
berlebihan dan melakukan kelalaian hingga menyebabkan terjadinya bencana besar
yang mengakibatkan kerusakan parah pada lingkungan dan sosial.
2.
Pandangan etika
Tentang Kejadian Lumpur Lapindo
Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT.
Lapindo rela menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Dan
keengganan PT. Lapindo untuk bertanggung jawab membuktikan bahwa PT. Lapindo
lebih memilih untuk melindungi aset-aset mereka daripada melakukan penyelamat
dan perbaikan atas kerusakan lingkungan dan sosial yang mereka timbulkan.
Hal yang dilakukan oleh PT. Lapindo telah melanggar prinsip – prinsip
etika yang ada. Prinsip mengenai hak dan deontologi yang menekankan bahwa tiap
manusia berhak atas lingkungan berkualitas, akan tetapi dengan adanya peristiwa
lumpur panas tersebut, warga justru mengalami dampak kualitas lingkungan yang
buruk. Sedangkan perspektif utilitarisme menegaskan bahwa lingkungan hidup
tidak lagi boleh diperlakukan sebagai suatu eksternalitas ekonomis. Jika dampak
atas lingkungan tidak diperhitungkan dalam biaya manfaat, pendekatan ini
menjadi tidak etis apalagi jika kerusakan lingkungan dibebankan pada orang
lain. Akan tetapi, dalam kasus ini PT. Lapindo justru mengeruk sumber daya alam
di Sidoarjo untuk kepentingan ekonomis semata, dan cenderung kurang melakukan
pemeliharaan terhadap alam, yang dibuktikan dengan penghematan biaya
operasional pada pemasangan chasing, sehingga menumbulkan bencana yang besar.
Selanjutnya, kerusakan akibat kesalahan tersebut menimpa pada warga Porong yang
tidak berdosa.
Prinsip etika bisnis mengenai keadilan distributif juga dilanggar oleh PT.
Lapindo, karena perusahaan tidak bertindak adil dalam hal persamaan, prinsip
penghematan adil, dan keadilan sosial. PT. Lapindo pun dinilai tidak memiliki
kepedulian terhadap sesama manusia atau lingkungan, karena menganggap peristiwa
tersebut merupakan bencana alam yang kemudian dijadikan alasan perusahaan untuk
lepas tanggung jawab. Dengan segala tindakan yang dilakukan oleh PT. Lapindo
secara otomatis juga berarti telah melanggar etika kebajikan.
. Hal ini membuktikan bahwa etika berbisnis yang dipegang oleh suatu
perusahaan akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu perusahaan. Dan segala
macam bentuk pengabaian etika dalam berbisnis akan mengancam keamanan dan
kelangsungan perusahaan itu sendiri, lingkungan sekitar, alam, dan sosial.
C.
Kasus Eksploitasi Lingkungan Secara Berlebihan Di lihat Dari Sudut Pandang
Islam
1.
Di Tinjau Dari aspek Fiqih Islam
Persoalan
lingkungan hidup dalam khazanah ilmu
fiqh tidak dibahas dan dikaji secara
khusus dalam bab tersendiri sebagaimana masalah puasa, zakat, sholat, haji, pernikahan,
warisan, jual beli, hutang pihutang, karena ketika fiqh dirumuskan pada abad
dua hijirah, lingkungan hidup belum menjadi masalah yang menarik perhatian para
ahli hukum Islam dan tidak ada pengrusakan lingkungan yang mengancam kehidupan manusia.
Kerusakan
lingkungan hidup terjadi setelah alam dieksploitasi terutama untuk
kepentingan industrialisasi. Setelah lingkungan hidup telah menjadi masalah
yang serius hingga mengancam kelangsungan kehidupan manusia, maka perlu dikaji
ulang prinsip, norma , nilai dan ketentuan hukum dari khazanah fiqh yang ada relevansinya dengan
persoalan lingkungan hidup. Fiqh adalah penjabaran nilai-nilai ajaran Islam
yang berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan hasil ijtihad para
ahli hukum Islam dengan menyesuaikan perkembangan, kebutuhan,kemaslahatan umat
dan lingkungannya dalam ruang dan waktu yang melingkupinya.Dengan kata lain, fiqh sebagai
hukum Islam yang ijtihadi.
Oleh
sebab itu, fiqh bersifat tatawur (berkembang) sesuai dengan kapasitas
daya nalar manusia dan perkembangan zaman. Tujuan hukum Islam
ditetapkan hidup manusia agar dapat mencapai kemaslahatan atau kebahagiaan
hidup duniawi dan ukhrowi. Berdasar tujuan ini, ilmu fiqh (hukum Islam) secara garis besar
memuat ketentuan hukum menjadi empat bidang Pertama. Bidang ibadah yaitu
bagian yang mengatur hubungan antara manusia selaku makhluk dengan Allah Swt
sebagai khaliknya (hubungan transedensi-hukum ibadah). Kedua, bidang Mu’amalat,
bagian yang mengatur hubungan manusia sesamanya dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari (hukum Muamalat). Ketiga, bidang Munakahat,
bagian yang mengatur hubungan manusia sesama lawan jenis dalam lingkungan keluarga
(hukum Pernikahan). Keempat, bidang Jinayat, bagian yang mengatur
keamanan manusia dalam suatu tertib pergaulan yang menjamin keselamatan dan
ketentramannya dalam kehidupan (hukum pidana).
Empat bidang hukum tersebut merupakan bidang-bidang pokok
kehidupan manusia dalam rangka mewujudkan suatu lingkungan kehidupan yang bersih,
sehat, sejahtera, aman, damai, bahagia lahir batin, dunia dan akhirat. Inilah
ruh dari ajaran Islam yang merupakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap
hambaNya dan tujuan risalah yang dibawa oleh Nabi Saw. Persoalan lingkungan
hidup bukan sekedar masalah sampah, pencemaran, pengrusakan hutan, atau
pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan bagian dari pandangan hidup itu
sendiri. Sebab dalam kenyataannya, berbicara mengenai persoalan lingkungan
hidup merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pendewaan
terhadap teknologi yang berlebihan dalam waktu lama telah mengakibatkan
kemiskinan dan keterbelakangan yang disebabkan oleh struktur yang tidak adil
sebagai akibat kebijakan pembangunan yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi
semata. Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup bersumber dari pandangan
hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam melihat dirinya dan alam
sekitarnya dengan seluruh aspek kehidupannya. Norma-norma fiqh yang merupakan penjabaran
dari nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana yang telah diutarakan
dimuka, sudah seharusnya dapat memberikan dorongan atau motivasi terhadap upaya
pengembangan wawasan lingkungan hidup atau lebih tepatnya pembangunan yang
berwawasan lingkungan hidup.
2. Tugas Kekhalifahan
Persoalan lingkungan hidup menjadi
tanggung jawab manusia dan merupakan amanat yang diembannya untuk memelihara
dan melindungi alam yang dianugrahkan oleh Sang Pencipta sebagai tempat tinggal
manusia dalam menjalani hidup di bumi ini. Manusia beriman dituntut untuk
mengfungsikan imannya dengan meyakini bahwa pemeliharaan (penyelamatan dan
pelestarian) lingkungan hidup adalah juga bagian dari iman itu sendiri. Dalam
kaitan ini, manusia dengan segenap kelebihan dan kelengkapan yang dianugrahkan
Allah Swt kepadanya telah ditunjuk sebagai Khalifah di muka bumi ini. Khalifah mengandung arti
sebagai pemelihara atau tegasnya telah ditunjuk dan diberi mandat sebagai
pemegang amanah Allah Swt untuk menjaga, memelihara dan memperdayakan alam
semesta, bukan menaklukkan dan mengeksploitasi.
Mujiyono Abdillah memberikan penjelasan bahwa makna khalifah
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 30 yaitu:
قال الله تعالى :وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي
جَاعِلُُ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا
وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ
إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ {30}
“
Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:”Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau”. Rabb berfirman:’Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui’ “. (QS. 2:30)
Ayat ini cenderung
berkonotasi kultural ekologis. Artinya, manusia diangkat sebagai khalifah
diberi mandat mengemban misi ekologis. Adapun mandat ekologis yang diberikan
oleh Allah kepada manusia adalah mandat untuk mengelola lingkungan secara
lestari. Dengan kata lain, manusia diangkat oleh Allah sebagai mandataris
eksekutif pengelola lingkungan. Kekhalifahan mengandung tiga unsur yang saling
terkait, ditambah unsur yang keempat yang berada diluar, namun amat sangat
menentukan arti kekhalifahan. Ketiga unsur tersebut adalah manusia sebagai
khalifah, alam raya, yang ditunjuk oleh ayat 21 al-Baqarah sebagai bumi,
hubungan antara manusia dengan segala isinya termasuk manusia(tugas-tugas
kekhalifahan).
اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي
خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون يَا أَيُّهَا
النَّاسُ
Hai manusia, beribadalah kepada Tuhan kalian
Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kalian bertakwa.
Kinerja ketiga unsur diatas agar dapat berjalan semestinya, sudah
barang tentu yang diberi tugas harus memperhatikan kehendak yang memberi tugas yaitu
Allah sebagai unsur yang berada diluar. Hubungan antara manusia dengan alam
atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara
penakluk dan yang ditaklukkan atau antara hamba dengan tuan, tetapi hubungan
kebersamaan yang harmonis dalam ketundukkan kepada Allah Swt. Hal ini, karena
kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat anugrah Allah Swt. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an surat Ibrahim ayat 32 : “Allahlah yang
telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit,
kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki
untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar
dilautan dengan kehendaknya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai”. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi yang harmonis dan
kokoh sesuai dengan prinsip kehidupan alam, antara manusia dengan sesamanya,
antara manusia dengan Tuhan dan antara manusia dengan alam. Semakin harmonis dan
kokoh hubungaan antara unsur tersebut, maka semakin menjamin terwujudnya
kehidupan yang harmonis,karena ketika itu, mereka semua akan saling membantu
dan bekerja sama dan Tuhan akan merestuinya, yang pada akhirnya akan memberi
jaminan kepada manusia sendiri untuk memperoleh kehidupan yang layak, baik
didunia maupun di akhirat kelak.
Hal ini sesuai dengan janji Allah Swt dalam surat al-Jin ayat 16 :
غَدَقًا مَاءً اهُمْ لَأَسْقَيْنَ رِيقَةِ عَلَى اسْتَقَامُوا لَوِ وَأَنْ
“ Dan bahwasanya, jika mereka
tetap berjalan lurus di jalan itu (petunjuk-petunjuk Ilahi), niscaya pasti kami
akan memberi mereka air segar (rezki yang melimpah)”. Sebaliknya, jika
hubungan antara unsur-unsur tersebut renggang dan rapuh, maka kondisi kehidupan
akan memburuk yang berakibat terjadi penderitaan dan penindasan manusia sesama manusia
atau dengan eksploitasi alam yang tidak terkendalikan , yang semua ini akan
membawa kehancuran alam dan pada akhirnya kehancuran kehidupan manusia sendiri. Ini sebagai makna pesan
dari wahyu pertama turun surat al-”Alaq ayat 6-7
(٧)ٱسْتَغْنَىٰٓ هُ ءَرَّأَن (٦)لَيَطْغَىٰٓ ٱلْإِنسَٰنَ إِنَّ كَلَّآ
”Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar
melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup “
D.
Kasus Eksploitasi Lingkungan Secara Berlebihan Di lihat Dari Sudut Pandang
GCG dan ICG
1.
Good
Corporate Governance ( GCG )
GCG secara singkat dapat diartikan
sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan
perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added)
bagi para pemangku kepentingan. Adapun prinsip-prinsip dari GCG
adalah :
1.
Transparancy
(Keterbukaan)
Yaitu,
keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Dalam kasus
kejadian Lumpur lapindo tidak ada keterbukaan yg dilakukan oleh pihak PT.
Lapindo Brantas dimana mereka melakukan pengeboran dengan sesuka hati tanpa pernah
memperhatikan apa dampak yang terjadi dan timbul bila pengeboran terus
dilakukan karena korporasi hanya mengejar keuntungan semata tanpa,
memperhatikan hal-hak masyarakat.
2.
Accountability (Akuntabilitas)
Yaitu
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga
pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Yang terjadi pada kasus
luapan lumpur lapindo adalah hingga saat ini belum ada realisasi secara
menyeluruh tentang tanggung jawab yang harus diberikan PT. Lapindo Berantas kepada
masyarakat. Karena, hinga saat ini belum ada bantuan yang berarti yang
diberikan PT. Lapindo Brantas baik bantuan pendidikan, kesehatan, fasilitas
sarana dan prasarana yang baik bagi masyarakat sekitar tetapi bahkan saat ini
justru masyarakat yang dirugikan karena kasus luapan lumpur tersebut.
3.
Responsibility (Pertanggungjawaban)
Yaitu
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundangundangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi. Dalam kasus luapan lumpur lapindo
yang terjadi adalah PT. Lapindo Brantas tidak melakukan pengelolaan perusahaan
tidak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam undang-undang karena, korporasi
telah mengambil hak-hak dari masyarakat porong sidoarjo serta tidak
dilakukannya, upaya pencegahan bencana sehingga terjadi human eror dari
korporasi yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut.
4.
Fairness (Kewajaran atau
Keadilan)
Yaitu
keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang
timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam kasus lapindo tidak ada kejuujran serta keadilan kepada masyarakat
karena, PT.Lapindo Brantas rela menggunakan segala macam cara untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan hal apa atau damapak yang
mungkin timbul karena hal tersebut
2.
Islamic Corporate Governance ( ICG )
Konsep
tentang Good Corporate Governance secara universal sangat erat kaitannya dengan
ajaran agama-agama yang ada. Prinsip Good Corporate Governance ternyata selaras
dengan ajaran agama islam. Meskipun Islam selalu memperkenalkan etika yang
baik, moral yang kuat, integritas, serta kejujuran, tidaklah mudah untuk
menggabungkan nilai-nilai etika seperti itu menjadi Good Corporate Governance
yang islami. Akibatnya, dalam prakteknya, sebagian besar dari perusahaan
‘Islam’ menggunakan standar tata kelola perusahaan konvensional yang mungkin
tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam. Adapun prinsip-prinsip ICG dalam
kasus PT. Lapindo Brantas adalah :
1. Shiddiq
(Benar )
Artinya bahwa sehrausna PT,
lapindo brantas harus melakukan kegiatan unsahanya dengan baik dan benar serta
menjunjung hak-hak dari masyarakat. Tetapi yang terjadi adalah, kasus
eksploitasi sebesar-besarnya tanapa memperhatikan damapak terhadap masyarakat
dan hal ini sangat melanggar ajaran islam yang mengajarkan dalam setiap
tindakan yang dilakukan tidaka boleh merugikan orang lain.
2. Amanah
(Dapat Dipercaya)
Sesuai Kejadian yang terjadi
ternyata PT lapindo berantas tidak amanah karena kegiatan pengeboran yang
dilakukan tidak sesuai dengan amdal yang telah disepakati oleh pemerintah dan
perusahaan dimana seharusnya perusahaan melakukan kegiatan pengelolaan
lingkungan sehingga kegiatan eksploitasi yang dilakukan itu tidak berdampak
buruk terhadap lingkungan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya karena tidak
dikelolana lingkungan yang baik maka terjadi bencana kepada masyarakat.
3. Tablig
( Menyampaikan )
Dalam kasus ini Pihak PT. Lapindo
Brantas tidak terbuka untuk menyampaikan kegiatan yang akan mereka yaitu
melakukan pengeboran lebih dalam lagi, karena seharusnya pengeboran itu tidak
boleh terus dilakukan karena akan menyebabkan masalah terhadap lingkungan
tetapi karena keserakahan oleh pihak korporasi maka kegiatan itu tetap
dilakukan dan menyembunyikan kegitan pengeboran itu.
4. Fathonah
( Cerdas )
Kegiatan pengeboran yang dilakukan PT
lapindo Brantas tidaklah cerdas, karena mereka melakukan pengeboran tanpa
memasang pipa selubung bor sehingga menyebabkan terjadi luapan lumpur, serta
korporasi juga tidak cerdas dalam mengambil keputusan untuk tetap melakukan
pengeboran tanpa menyadari bahawa kegiatan yang terus dilakuakan akan
menyebabkan bencana bagi masyarakat porong sidoarjo.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari berbagai uraian di atas tentang
kasus eksplorasi lingkungan secara berlebihan yang dilakukan oleh PT. Lapindo
Brantas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997,
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan
perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
2.
Eksploitasi
besar-besaran yang dilakukan PT. Lapindo membuktikan bahwa PT. Lapindo rela
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan,
3.
Kasus Lumpur
lapindo tinjau dari segi etika baik teori deontologi, utilitarisme, serta keadialan,
dinilai sangat tdk beretika karena merigikan masyarakat porong sidoarjo.
4.
Terdapat
empat bidang hukum dalam fiqih yg mengatur kehidupan manusia dalam rangka
mewujudkan suatu lingkungan kehidupan yang bersih, sehat, sejahtera, aman,
damai, bahagia lahir batin, dunia dan akhirat yaitu bidang ibadah, muamalat,
munakahat, dan janayat.
5.
Dalam sudut pandang islam
kegiatan eksplorasi lingkungan secara berlebihan juga sangat ditentang oleh
ajaran islam karena sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT bahwa manusia
diutus di muka bumi ini adalah sebagai khalifah atau pemimpin yang tujuannya
adalah untuk menjaga, serta melstarikan lingkungan sesuai dengan fungsi serta
peruntukkannnya.
6.
Dari sudut pandang GCG
dan ICG kasus PT. Lapindo Brantas sangat tidak sesui dengan prinsip-prinsip GCG
( Transparancy,
Accountability, Responsibility, Fairness ) dan ICG. (Shiddiq, Amanah, Tablig, Fathonah )
Karena sangat merugikan masyarakat yang
berada di sekitar lokasi pengeboran.
B.
Saran
Saran dari saya sebagai penulis makalah
ini adalah sebaiknya bagi pengusaha-pengusaha yang kegiatan bisnisnya
berhubungan dengan eksplorasi lingkungan harus selalu berusaha waspada serta tidak
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan sehingga menjadi
berlebihan, karena hal ini akan berpengaruh terhadap keseimbanagan lingkungan
itu sendiri. Apabila hal ini terus dilakukan akan menebabkan kerusakan
lingkungan serta dapat membahayakan masyarakat yang bermukim disekitar kegiatan
eksplorasi. Selain itu, kejadian lumpur lapindo dijadikan sebagai pengalaman
berharga yang tidak boleh terulang lagi di masa yang akan datang demi
kesejahteraan seluruh umat manusia di bumi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah, Mujiono, 2001, Agama
Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta; Paramadina.
.Afand,
2009, Lingkungan Hidup,Kerusakan
Lingkungan, Pengertian, Dan pelestarian.www.abatasa.com.
Alamendah, 2009, Lingkungan Hidup. http://alamendah.org
Fitri Zaki, 2012, Bisnis Yang Kurang
Beretika. http://restieokti.blogspot.com
Harun, 2009, Persoalan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fiqh (Hukum Islam) : surakarta
Tosepu Ramadhan. 2010,
Kesehatan Lingkungan, Surabaya ;
Bintang
Undergroun paper, 2012, Etika Lingkungan, http://underground-paper.blogspot.com
Velasquez G. Manuel. 2005, Etika Bisnis Konsep
Dan Kasus Edisi 5. Yogyakarta ; Andi
No comments:
Post a Comment